Bersama Kawan di Kafe

Zaza
5 min readFeb 19, 2021

--

Photo by Manki Kim on Unsplash

Jam menunjukkan pukul 9 malam. Di tengah hiruk pikuk ibukota yang tak mengenal waktu, aku memilih untuk menepi ke salah satu kafe favorit. Rupanya, di kafe favoritku itu, aku bertemu dengan seorang kawan yang sudah jarang kutemui.

Seorang kawan itu kini bersamaku, di salah satu meja kafe favoritku. Bukan bertanya tentang kabar, ia malah bertanya padaku, “tidak lelah selalu sendiri?” Namun pertanyaannya tidak membuatku terkejut sama sekali.

“Sudah kuat sedari lahir,” jawabku sekenanya, sambil memandangi kendaraan yang berjalan seperti siput dari jendela lantai dua kafe.

“Sekuat apa?” Aku pun menoleh padanya, kemudian tertunduk memandangi secangkir coklat panas tanpa gula yang mulai dingin. “Entahlah, seperti menjadi paling kuat di antara kekuatanku sebelumnya,” kataku sambil mengelus pinggiran cangkir.

“Permisi, Kak. Kaya toast, ya?” “Iya, Mas. Terima kasih,” ucapnya, diikuti senyum. “Kaya raya, Mas,” celetukku setelah pelayan berlalu. Ia tertawa mendengarnya.

“Giliranku,” kataku. “Apanya?” ia bingung. “Giliranku untuk bertanya,” aku berdeham. “Tidak lelah memesan kaya toast setiap ke sini?” “Sudah kuat sejak pertama kali melahapnya tahun lalu. Ah, kamu mengalihkan pembicaraan,” ujarnya setengah kesal.

“Ayolah, jawab pertanyaanku tadi,” pintanya. “Oke, tapi biarkan aku bertanya satu hal lagi. Mengapa setiap kita bertemu, kamu selalu menanyakan hal itu? Padahal kamu tahu jawabanku yang asal seperti tadi,” tanyaku serius. “Karena tidak ada yang pernah bertanya dan peduli tentang kesendirianmu,” jawabnya tenang, lalu melahap satu potongan kaya toast lagi.

Beberapa saat setelah ia menelan satu potongan kaya toast-nya, ia mencecarku. “Kamu memilih segera pulang dan menghindari acara-acara yang diadakan oleh rekan-rekan kerjamu. Ajakan untuk menikmati Minggu pagi di Car Free Day pun kamu tolak. Bahkan ajakan untuk menikmati alam di Puncak yang selalu kamu idam-idamkan sejak di bangku sekolah, juga kamu tolak. Kamu selalu bercerita bahwa kamu merasa menyia-nyiakan waktumu jika menghabiskan waktu bersama mereka. Belum juga dicoba, sudah berasumsi yang tidak-tidak. Kamu ini makhluk sosial atau bukan, sih?”

Aku pun terdiam. Memang, kawanku yang satu ini selalu menanyakan tentang kesendirianku setiap kami bertemu. Pertanyaan yang muncul setelah bertukar kabar. Dan sepertinya, bertukar pertanyaan perihal kabar sudah membuat kami bosan. Namun entah mengapa, di pertemuan ini aku tak memiliki hasrat untuk bertanya hal lain seperti yang biasa aku lakukan. Dan entah mengapa pula, di pertemuan ini, ia mencecarku dengan beragam fakta yang pernah ku ceritakan padanya.

Mendengar pertanyaannya yang mengandung unsur kekesalan, membuatku kesal juga. “Ya makhluk sosial lah. Kalau bukan, sudah sejak awal aku tak bercerita tentang apapun padamu dan aku akan menolak ajakanmu untuk bertemu. Bahkan aku tidak akan mengizinkanmu untuk duduk di hadapanku malam ini,” jawabku ketus.

“Aku yakin, kalau rekan-rekanmu itu juga selalu bertanya hal yang sama sepertiku tentang kesendirianmu. Tapi mereka memilih untuk diam dan hanya ingin selalu mengajakmu hingga kamu menerima ajakan mereka,” terangnya dengan nada yang agak ia tekan karena ia tampak muak denganku.

Sambil menghela napas panjang, aku kembali memandangi kemacetan. Ucapan kawanku itu ada benarnya. Mungkin saja rekan-rekanku takut membuatku tersinggung.

Muncul jeda yang cukup lama di tengah percakapan kami. Seakan berusaha untuk menenangkan diri masing-masing agar percakapan yang akan dilanjutkan nanti, lebih bisa dicerna sebagaimana semestinya.

“Jadi… lelah atau tidak?” Ia bertanya lagi dengan menunjukkan wajah yang mengharapkan jawaban sebenarnya sambil mengunyah satu potong kaya toast.

Aku menghela napas dan bersiap menjelaskan perasaanku yang sesungguhnya. “Teramat lelah. Setahun ini aku memang lebih memilih untuk menutup diri. Terkadang aku ingin menerima ajakan mereka, tapi aku terperangkap oleh asumsiku sendiri. Lama kelamaan, aku menutup diri lebih dalam lagi. Aku tidak mengizinkan diriku sendiri untuk menangis. Aku terperangkap lagi oleh asumsiku sendiri, terhadap diriku sendiri. Aku tidak ingin menjadi cengeng di hadapanku.”

Ia terdiam setelah mendengar penjelasanku. Entah apa yang ada di pikirannya, namun raut wajahnya menunjukkan bahwa ia seperti sedang berpikir keras. Dan ia masih terdiam, cukup lama. Aku pun tak berniat membuka suara karena yang aku tunggu adalah tanggapannya.

Setelah beberapa saat, jeda yang sempat mampir lagi, ia singkirkan. “Kapan kamu akan membuka diri untuk dirimu sendiri?” Sebuah pertanyaan yang lagi-lagi aku terima, bukan sebuah tanggapan.

Kali ini aku yang terdiam dan pikiranku yang berpikir keras. Apakah aku sekuat itu hingga selama satu tahun ini aku tidak menangis? Bagaimana bisa pipi ini tidak diberikan aliran segar berupa air mata? Atau aku memang selemah itu, hingga selama satu tahun ini tidak mengerti bagaimana caranya menyalurkan emosi? Menolak berbagai acara yang sebenarnya aku butuhkan. Sikapku ini, apakah termasuk membohongi diri sendiri?

“Malam ini,” jawabku tegas. Benarkah malam ini? Tanyaku dalam hati kemudian, seakan ragu dengan jawabanku sendiri.

Mendengar jawabanku, kawanku hanya mengangguk-angguk dan mengalihkan pandangan ke jendela. Aku membaca raut wajahnya, dan kini menunjukkan ketidakpercayaan terhadap jawabanku. Sepertinya aku sudah sampai pada batas waktu membohongi diri sendiri, pikirku.

“Ayo segera habiskan kaya toast-mu. Agar cepat kaya raya,” gurauku. “Agar cepat kaya raya atau kamu cepat pulang dan mengurung diri di kamar?” tanyanya, lalu melahap potongan kaya toast terakhir. “Dua-duanya ku aminkan,” aku tertawa.

“Masih macet, lho,” katanya saat aku meneguk habis coklat panas yang menjelma menjadi coklat suhu ruangan di cangkirku. “Inilah ibukota,” ujarku santai sembari bersiap meninggalkan kafe.

Transaksi di kasir selesai, aku pun menuju mobil di lahan parkir. Sesaat setelah duduk di kursi pengemudi, aku tertawa miris. Kami tidak berpisah di pintu masuk kafe ataupun lahan parkir. Kami kembali menyatu. Kawanku tadi kini ada di dalam diriku.

Kini aku tak perlu mengurung diri di kamar seperti biasanya. Karena aku baru saja berhasil mengurung diri di mobil sambil memeluk setir mobil yang sebenarnya bukan objek yang nyaman untuk dipeluk. Aku bermenung, langkah awal apa yang bisa aku lakukan…

Setelah beberapa menit mataku terpejam, aku merasa ada yang menuntunku. Tanganku buru-buru mengambil gawai di saku kemeja. Lalu, jemariku berselancar di atas layar gawai, mataku mencari nama kontak yang ingin segera aku hubungi.

Kini kedua jempol tanganku melompat-lompat. Hari Minggu besok, mau ke CFD lagi? Sebuah pesan yang berhasil aku kirimkan melalui pesan singkat kepada salah satu rekan kerjaku.

Ada kelegaan di hati setelah keberhasilan itu. Perlahan senyumku mengembang. Beberapa tugas terhadap diri ini harus dilakukan perlahan, ucap batinku dengan tenang.

By the yard it is hard, by the inch it is a cinch.
— Brian Tracy

--

--

Zaza
Zaza

Written by Zaza

pour out the messiness through writing.

No responses yet